Resolusi Komnas HAM untuk Papua damai

Rabu, 23 November 2011 - 15:12 WIB
Resolusi Komnas HAM untuk Papua damai
Resolusi Komnas HAM untuk Papua damai
A A A
Sindonews.com - Konflik yang terjadi di tanah Papua, tidak hanya menjadi persoalan dalam negeri yang pelik. Tak cuma itu, juga mendapat perhatian dari dunia internasional terutama menyangkut dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sebab itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama sejumlah tokoh masyarakat, politik, dan agama, mendesak pemerintah segera menuntaskan silang sengkarut persoalan di Papua. Persoalan Papua ini jika tidak segera diselasaikan justru berdampak buruk bagi citra Indonesia di mancanegara.

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, persoalan HAM di Papua sudah berlarut-larut sejak 46 tahun lalu, dan hingga kini belum juga menemui titik terang. "Karena itu kami mendesak pemerintah agar secepatnya menuntaskan persoalan di Papua," ujarnya di sela dialog antarelemen, di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (23/11/2011).

Desakan itu juga diwujudkan dalam sebuah resolusi berupa pernyataan bersama dari berbagai elemen untuk diajukan kepada Presiden dan Ketua DPR.

Enam butir desakan terhadap pemerintah tersebut adalah:
1. Membenahi manajemen keamanan dengan mengevaluasi postur, struktur, dan kultur aparat keamanan yang selama ini bertugas di Papua, sesuai prosedur dan keputusan politik.

2. Membenahi manajemen ketertiban umum dalam penegakan hukum dengan mengedepankan satuan-satuan penegakan hukum, dan bukan satuan Brimob dan Densus 88 Anti Teror.

3. Menghentikan segala upaya intimidasi terhadap masyarakarat dan mahasiswa yang berada di Papua maupun luar Papua.

4. Melaksanakan penegakan hukum secara adil dan terus menerus terutama terhadap peristiwa yang menimbulkan korban jiwa.

5. Pemerintah harus menunjukkan kepemimpinan yang jelas dan segera membangun dialog yang bermartabat dengan semua elemen masyarakat di Papua.

6. Mendesak pelaksanaan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang mengutamakan warga Papua yang berada di pedalaman.

Turut hadir dalam dialog dan merumuskan resolusi, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin, anggota Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) Farid Husein, peneliti LIPI Muridan Widjojo, peneliti Imparsial Poengky, Romo Benny Soesetyo, dan sejumlah tokoh.

TB Hasanuddin menilai harus ada keputusan politik yang jelas dalam penanganan persoalan Papua oleh pemerintah. Keputusan politik ini sebagai pra-kondisi sebelum diadakannya dialog antara Jakarta-Papua. "Keputusan politiknya kan belum jelas, apakah memang benar ada separatis atau pemberontakan bersenjata di Papua," ujarnya.

Kalaupun misalnya nanti diputuskan ada, lanjutnya, konsep pengerahan pasukan dan jenis operasinya juga harus ditentukan. Selain itu, sistem perbantuannya juga harus diperhatikan. "Apakah TNI yang membantu kepolisian, atau sebaliknya," imbuh TB Hasanuddin.

Yang lebih penting lagi, dalam penanganan persoalan Papua ini, anggaran dan durasinya harus jelas. Selama ini, menurutnya, tidak ada rumusan yang mengatur dua hal tersebut. "Anggarannya saja tidak jelas, terlebih durasinya. Seharusnya tidak ada patroli terus menerus yang sudah ada sejak 46 tahun," tandasnya.

Sebelum keputusan politik ini belum dihasilkan, TB Hasanuddin mendesak pemerintah agar menghentikan pendekatan militer di Papua. "Tangan-tangan kotor yang dikirim dari Jakarta harus dihentikan. Seluruh pasukan TNI harus menghentikan aktivitas sementara. Jangan ada lagi patroli untuk menghindari kecurigaan," tegasnya.

Sementara itu pemerintah melalui Kementerian Pertahanan menyebut ada empat point yang menjadi pemuicu konflik di Papua. Pertama adalah gerakan-gerakan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kedua, kasus PT Freeport Indonesia yang di dalamnya terbagi dalam dua persoalan yaitu mogok kerja dan masalah penembakan. Ketiga, terjadinya disparitas ekonomi. Keempat, persoalan pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik itu bupati maupun gubernur yang selalu terjadi tarik-menarik kepentingan.

Untuk mengatasi krisis Papua ini, pemerintan membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Ketua Pansus Otonomi Khusus Papua DPD Paulus Sumino mengatakan, pembentukan UP4B ini dinilai sebagai sikap presiden yang responsif mendengarkan keluhan masyarakat Papua dan Papua Barat yang selama 10 tahun pelaksanaan otonomi khusus belum mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan.

“UP4B adalah keinginan presiden yang harus disikapi dengan baik, karena rakyat Papua dan Papua barat menyampaikan kepada pemerintah pusat atau presiden selama otsus belum menyampaikan kesejahteraan. Jadi pembentukan ini bertujuan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat. Rakyat Papua dan Papua Barat pun menyambut baik hal ini,” ujar Paulus kepad wartawan di Jakarta, 19 November 2011.

Pembentukan UP4B ini jangan diartikan sebagai bentuk kegagalan otonomi khusus. Kesejahteraan rakyat Papua jelasnya lagi yang belum dapat dicapai sebagaimana harapan masyarakat Papua setelah 10 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus, tidak bisa dijadikan referensi kegagalan otsus.

Studi referensi dari negara-negara lain membuktikan bahwa proses tercapainya kesejahteraan rakyat lokal di daerah otonomi khusus memang membutuhkan waktu yang panjang. Pelaksanaan otonomi khusus di Papua yang baru berjalan 10 tahun, belum dapat dikatakan gagal. Diperlukan adanya perbaikan-perbaikan agar lebih cepat masyarakat Papua dapat mencapai kesejahteraan.

"Otsus harus diperbaiki kesalahan pemerintah pusat, gubernur maupun DPRD,MRP yang belum melaksanakan amanat dalam UU itu. Selama ini baik pemerintah pusat, pemerintah daerah baik tingkat I dan II dan juga unsur-unsur masyarakat telah dilibatkan. Namun memang harus diakui semua itu masih proses. Dengan pembentukan UP4B ini tentunya diharapkan proses tersebut dapat dipercepat,” papar tegasnya.

Dirinya menyarankan agar dalam melakukan tugasnya UP4B berorientasi pada peningkatan pendapatan rakyat. Untuk itu pemerintah melalui UP4B harus mendorong program-program otonomi pengembangan otonomi rakyat. Pengemanban otonomi kerakyatan menurutnya bisa disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing.

“Rakyat yang berpotensi dikembangkan sesuai dengan potensi yang ada. Misalnya wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan kopi, coklat rakyatnya dibantu agar bisa memiliki kebun.

Untuk wilayah perariaran misalnya dipinggiran laut atau danau, maka mereka dibantu untuk memiliki kapal penangkap ikan ataupun kerambah.Sementara di wilayah yang ramai perdagangan, masyarakatnya dibantu agar bisa memikiki usaha perdagangan,” tandasnya.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0327 seconds (0.1#10.140)