Jalesveva Jayamahe

Jum'at, 08 Juni 2012 - 08:44 WIB
Jalesveva Jayamahe
Jalesveva Jayamahe
A A A
Satu langkah besar diambil Indonesia pekan ini. Melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan), Indonesia secara resmi menandatangani kontrak pengadaan satu unit Kapal Perusak Kawal Rudal (PKR) atau Kelas Sigma 10514 dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS), Belanda.

Jika tidak ada aral melintang, Kapal PKR 10514 ini diserah terimakan awal 2017. Kontrak senilai USD220 juta yang diambil dari anggaran kredit ekspor dengan alokasi multi-years sekaligus menghentikan tarik ulur yang mengemuka sejak Indonesia mempertimbangkan menambah kekuatan lautnya dengan kapal frigate yang di Asia Tenggara hanya disaingi Kelas La Fayette Singapura.

Selain ada yang menghendaki La Fayette yang diproduksi Prancis, ada juga yang mendesak agar Kemhan membeli Kelas Horizon (Orizonte) hasil produksi bareng Italia dan Prancis.

Namun, apa pun perdebatannya, pilihan telah diambil. Kemhan tentu tidak sembarangan mengeluarkan dana sebesar itu tanpa pertimbangan masak. Selain pertimbangan kapabilitas PKR yang dilengkapi missile anti serangan udara, permukaan, dan bawah laut yang diharapkan mampu meningkatkan efek tangkal yang dibutuhkan untuk penguatan pertahanan NKRI, komitmen DSNS untuk melakukan transfer of technology(TOT) juga diperlukan.

Dalam skema kerja sama yang sudah dibuat, PT PAL Indonesia (Persero) selaku industri pertahanan dalam negeri akan kebagian peran konstruksi desain dan pembangunan kapal.

Dengan demikian, ke depan Indonesia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kapal serupa. PT PAL bahkan pernah membangun Landing Platform Dock (LPD) KRI Banjarmasin (592) yang diadaptasi dari kapal sejenis yang sebelumnya dibuat di Korea Selatan.

Keputusan Indonesia membangun kapal perang dengan kapabilitas mumpuni sekaligus melakukan TOT dalam perspektif politik pertahanan bisa dilihat sebagai kesadaran bangsa ini terhadap jati dirinya sebagai bangsa laut, seperti secara historis pernah diwujudkan semasa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Kerajaan Islam Demak, dan semasa pemerintahan Orde Lama yang menempatkan kekuatan laut dan udara Indonesia sebagai yang terkuat di belahan bumi selatan.

Di sisi lain, langkah ini juga menunjukkan ada kesadaran akan pentingnya kekuatan laut dalam konteks pertahanan negara, termasuk meningkatkan kesiapan mengantisipasi dinamika politik di kawasan ASEAN maupun Laut China Selatan yang belakangan ini menghangat.

Pembelian dan TOT Kapal PKR 10514 harus dilihat secara utuh sebagai bagian grand design dari rangkaian strategis yang sebelumnya dilakukan untuk peningkatan kekuatan yang berpangkal di matra laut.

Sebelumnya Indonesia membeli dan melakukan TOT kapal selam dengan Korea Selatan, pengembangan Kapal Cepat Rudal (KCR), Landing Ship Tank (LST), Kapal Rudal Trimaran, serta TOT Rudal C-705 dari China.

Rangkaian pembelian kapal dengan skema TOT dan pembangunan kapal yang berangkat dari kreativitas dan kemandirian anak bangsa menjadi modal berharga untuk mengadaptasi dinamika di kawasan, termasuk mengimbangi perlombaan senjata negara- negara tetangga yang juga tengah jorjoran menggelontorkan anggaran untuk memborong persenjataan canggih.

Dengan modal kemandirian, secara ekonomis Indonesia jelas lebih diuntungkan dibanding negara yang harus membeli utuh. Pun dari kesiapan pertahanan, karena Indonesia nanti tidak harus bergantung pada negara lain.

Apalagi bangsa ini mengalami traumatik terkait embargo senjata yang pernah diberlakukan sejumlah negara Barat. Akhirnya senyampang program yang tengah dikembangkan dilakukan berdasar prinsip transparansi dan akuntabilitas, dukungan semua pihak sangat dibutuhkan seperti dukungan politik dari Senayan dan komitmen pemerintah mendorong peran BUMNIS maupun swasta domestik.

Sejatinya, dukungan dan kekompakan semua komponen bangsa inilah yang menjadi modal utama terwujudnya semboyan “Jalesveva Jayamahe”.(*)

()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6345 seconds (0.1#10.140)