Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menerangkan, pelaksanaan pilkada pada 2022 dan 2023 akan lebih ringan dan fokus karena beban penyelenggaraan tidak bersamaan dengan pemilu serentak 2024.
Sebanyak 54,8% warga ingin pilkada digelar pada 2022 untuk kepala daerah yang selesai di 2022 dan 53,7% pada 2023 untuk kepala daerah yang selesai di 2023.
Jika pilkada serentak digelar 2024, karier kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 akan terhenti. Mereka bisa gagal manggung di level nasional.
Pilpres 2024 seharusnya dipersiapkan oleh partai politik secara matang dari sekarang, bukan semata-mata mengganti aturan terkait waktu pelaksanaan Pilkada.
Pilkada 2022 dan 2023 yang berdekatan dengan Pemilu 2024 juga dinilai akan menyedot keuangan negara yang sedang dibutuhkan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Menurut peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, ketiadaan Pilkada 2022 dan Pilkada 2023 akan memberatkan partai politik.
Draf Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu) tengah bergulir di DPR.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan dan Gubernur Jabar Ridwan Kamil dinilai akan terimbas elektoralnya karena jadwal keserentakan pilkada masih belum berubah.
Perludem menilai paling penting saat ini masyarakat bisa memperoleh kepastian segera tentang pelaksanaan pilkada bagi daerah-daerah yang akhir masa jabatannya jatuh di 2022 dan 2023.